Akhir Dari Sebuah Penyesalan

Kujentikkan rokokku, entah sudah yang keberapa puluh kali. Aku kian surut dalam lamunan yang tak menentu. Aku selalu melamunkan kejadian beberapa tahun yang lalu, makin lama kenangan tersebut mulai menggangguku, perasaan bersalah yang mematahkan semangatku makin berkecamuk didadaku, andai saja aku bisa melupakan masa laluku yang menyedihkan…


Awal mula….



“ Tio cepat bangun! Hari ini kamu pertama masuk kelaskan?”. Kata-kata ibuku bagai alarm yang terlalu cepat berbunyi karena pagi itu memang masih jam empat pagi.

“ Sebentar lagi, mah!” aku menyahut dengan jengkel dan aku mulai meramalkan kejadian sepuluh menit yang akan datang, pasti ibuku mengambil air lalu masuk kekamarku dan menyiramkannya padaku, dan benar saja ramalanku selalu tepat.

“ Iyaaaa, aku sudah bangun jangan disiram terus!” aku berteriak dan langsung berlari ke kamar mandi segera beres-beres.

Pagi yang sungguh sial sekali, aku terus membatin sepanjang perjalanan menuju tempat dimana biasa menyetop kendaraan umum. Akhirnya aku sampai dan sepertinya hari ini tidak seperti biasa karena aku memang sudah dua minggu libur sekolah dan saat kembali ke tempat ini aku merasa sangat asing.

Aku menyalakan sebatang rokok untuk menenangkan sekelebat pikiran yang membuatku gelisah, aku tidak peduli dengan yang dipikirkan orang terhadapku. Setiap orang bebas untuk mengambil keputusan apa pun tentang dirinya. Toh, aku merokok untuk keputusan yang positif. Siapa yang peduli ketika pikiranku tak menentu. Siapa yang peduli ketika pikiranku buntu. Apakah orang mengusik perokok sepertiku hanya dengan memandang atribut SMA-ku? Mengapa mereka tidak bertanya tentang alasanku? Mereka bisanya hanya menyalahkan, tetapi tak ikut menyelesaikan masalah. Karena itu, aku memutuskan untuk merokok sepuasku. Kenapa orang dewasa yang memiliki uang diizinkan, sedangkan orang sepertiku dilarang merokok? Sementara aku membeli rokok dengan uangku sendiri, aku juga memiliki penghasilan sendiri dari hasil kerja sambilan sebagai juru ketik lepas dirumahku. Aku bekerja sepulang sekolah membuat cerpen dan beberapa pesanan ketik dari orang-orang yang membutuhkan jasa pengetikan. Menurutku, ya sebaiknya merokok saja, apa urusannya dengan orang lain.

Angkutan umum semakin lama terus berdatangan memenuhi prapatan Griya. Sambil menikmati asap rokok aku memperhatikan orang-orang berlalu lalang didepanku, aku juga sempat bertemu dengan beberapa kawan yang hedak berangkat sekolah. Jadi hasilnya aku nongkrong dulu dan berangkat beramai-ramai, aku pun terlambat lagi.

Aku sampai didepan gerbang sekolah dan memandang gerbang itu sambil melongo,

“ Wah, gawat aku telat nih!” aku merasa gelisah sekali. Saat itu beberapa temanku juga terlambat mungkin alasan mereka terlambat sama denganku.

“ Git, masuk aja yuk! Kita langsung terobos aja palingan juga cuma anak OSIS yang lihat!” kata temanku memberi masukan yang kuanggap positif untuk saat ini.

“ Boleh juga!” aku menyahut dan memikirkan beberapa resiko yang harus dihadapi bila ketahuan guru. Aku langsung masuk dan sempat melihat beberapa anak osis yang melirik kami, tetapi mereka tidak berani menegur karena reputasiku disekolah ini cukup disegani.

Bukannya aku tidak menghargai anak OSIS tetapi menurutku anak osis hanya tipe-tipe pelajar penjilat yang hanya cari muka dan dibelakangnya mereka selalu mencari kesalahan untuk bergaul bersama kami.

Aku mencari kelasku sambil mencari namaku dipapan informasi.

“ Ndun lw di kelas berapa?” tanyaku pada temanku yang bernama Hindun.

“ Gw juga gak tau, Git!” balasnya dengan nada gugup mencari-cari namanya seolah-olah namanya tidak dicantumkan.

“ Emangnya nama asli lw siapa, Ndun?” tanyaku

“ Raden Mas Dimas Saputro! Emangnya kenapa?” tanyanya

“ Ini nama lw, bego!” kata Parid yang tak kusadari telah hadir disisiku sambil mengupil. Selama ini aku heran dengan Parid karena dia selalu hadir tiba-tiba seolah-olah bila dia diomongin dia akan muncul kapan saja dan dimana saja.

“ Mana, Rid?” kata Hindun sambil memutar lehernya cepat sekali, aku merasa mendengar suara gemeretek urat-uratnya yang tertarik.

“ Ini nih Dimas Saputra tanpa raden mas! Makanya, lw kalo kenalan sama cewe nggak usah make gelar raden mas segala, gini nih akibatnya, kalo gw jadi eluw gw bakal ganti nama!” kata Parid

“ Lw sih Ndun, zaman sekarang mana ada orang waras ngasih nama anaknya make nama raden mas!” kataku menimpali.

“ Ah, lw aja yang sirik sama gw! Gini-gini tanah gw berhektar-hektar di Brebes sono!” kata Hindun tak terima diledek

“ Yah, itu sih terserah eluw! Lw di kelas Ipa 4 Git kalo gw di Ipa 2 dan si jawa ini di kelas Ipa 3!” kata Parid

“ Oke deh, gw ke kelas dulu buat nyari tempat!” kataku menyudahi pembicaraan

“ Ya udah, kita bareng aja!” kata Hindun dengan bersemangat. Kami pun beramai-ramai menuju kelas masing-masing.

“ Wah, sial banget! Gw duduk dimana?” aku memperhatikan ke dalam kelas dengan ekspresi kaget yang tak bisa di sembunyikan. Aku melihat semua tempat duduk telah ditempati dan yang tersisa hanya tempat duduk di depan meja guru. Kalau begini gw ngga bisa nyontek, aku membatin putus asa. Tidak sengaja aku melihat teman seperjuanganku bernama Iyan duduk di barisan paling belakang tetapi tampaknya sudah ada yang duduk bersamanya, tanpa basa basi aku menghampirinya dan langsung menaruh tasku samping tasnya, tak lupa aku menyingkirkan tas yang entah milik siapa itu.

“ Halo, bos! Gimana kabar lw?” aku bertanya sambil cengar cengir

“ Biasa aja nggak ada bedanya! Eh, itu tasnya si Andi yang lw lempar!” Iyan menyahut dengan was-was

“ Ah, biarin aja! Gw pengen duduk di sini!” aku menyahut dengan santai. Benar saja tak lama kemudian yang punya tas menghampiriku, tanpa basa basi aku menanyainya

“ Eh, ini tas lw? Sory gw nggak tahu!” aku menyapa dengan ekspresi tanpa dosa.

“ Oh, nggak kenapa-kenapa koq! Gw juga mau pindah tempat duduk! Gw pindah ya!” katanya berbicara dengan sangat hati-hati.

“ Oke, deh!” kataku dengan enteng.

Seperti biasa setiap anak memperkenalkan diri dahulu sebelum memulai pelajaran.

“ Sigit Hartantio!” kata Mam Ike, guru bahasa inggris sekaligus wali kelasku.

“ Saya, Mam!’ aku menjawab dengan singkat tanpa penjelasan apapun.

“ Yes, I know you! By the way can you speak English?” kata Mam Ike, kedua alisnya bertemu dan memandangku dengan galak

“ Yes, Mam! I can litle-litle!” kataku diiringi tawa anak-anak sekelas

“ Now, introduce your self with english okey!” kata Mam Ike

“ Oke, Mam! My name is Sigit Hartantio, I live in Cileungsi City, I from at 1-5, and my ambition is Reporter!” aku memperkenalkan diri dengan dialek Inggris Depok yang kumiliki..

Saat istirahat merupakan waktu yang sangat menyelamatkan. Aku berkumpul dengan teman-teman baruku, diantaranya Iyan, Gesit, Wien, Ade, Yayan, dan Binsar. Gesit merupakan teman yang kusukai karena dia mirip denganku, sama-sama pecinta buku. Binsar yang menjadi bahan cengan, Yayan yang pendiam dan Wien yang menjadi ketua kelas kami, dan juga Ade yang kuanggap sangat pede karena selain banyak omong dia juga memiliki brewok yang lebat. Kami memulai persahabatan kami dengan banyak tingkah mulai dari bolos pelajaran, tidak mengerjakan peer, godain cewe, dan masih banyak tingkah kami yang lainnya. Biarpun kami badung tetapi para guru jarang menegur kami mungkin karena kami tidak pernah melanggar batas dalam kekonyolan kami atau pun teman sekelas yang terganggu dengan ulah kami, mungkin karena kami tidak pernah mengganggu mereka, tanpa kami kelas akan menjadi sangat sunyi seperti kuburan apalagi bila aku tidak masuk.

Seiring berjalannya waktu, banyak sekali kenangan indah yang mewarnai hari-hariku.

Seolah hariku itu adalah sebuah kanvas yang siap untuk dihias dengan warna warni kehidupan, aku merasa sebagai anak yang beruntung berada di kelas tersebut, meskipun wali kelasku sangat otoriter dan selalu mengawasi gerak gerik tingkahku, aku tetap enjoy menjalaninya. Aku dianggap sebagai bos di kelas, dan itu yang membuat wali kelasku selalu memperhatikan gerak gerikku, bila langkahku tergelincir aku akan di cecar, maka selama ini aku selalu berhati-hati dalam melangkah dan sebisa mungkin aku tidak akan mengajak teman-temanku menjadi badung. Mereka aku ajarkan agar tidak mengikutiku apabila ulahku sudah terlalu keterlaluan dan yang pasti bila mereka ikut andil, aku tidak pernah mengajaknya dan merekalah yang menentukan pilihan mereka sendiri.

Memang aku menjalani hari-hariku dengan bersemangat, tetapi ada kalanya aku menjadi jenuh dan jengkel dengan berbagai macam peraturan disekolah ini, aku merasa system pendidikan disekolah ini terlalu mengekang siswa dan selalu memberi kebebasan pada para guru, misalnya murid-murid harus memakai dasi sebelum memasuki gerbang sekolah sedangkan guru, mereka tidak memakai dasi dan berjalan dengan petantang petenteng sambil melirik para siswa yang ditegur di gerbang utama, aku melihat kebobrokan system ini ketika melihat salah satu guruku melakukan hal tersebut. Sebenarnya aku tidak terlalu mempermasalahkannya tetapi sikap guru itu sungguh sudah keterlaluan, yang paling membuat aku jengkel adalah system pembelajarannya, dimana kami sebagai anak IPA tetapi diajar oleh guru IPS yang tidak sepadan dengan otak kami, aku jengkel sekali apalagi pelajaran tersebut adalah pelajaran yang di UN-kan. Alhasil aku dan teman sekelas tidak menguasai pelajaran tersebut, aku melihat guru tersebut mengajari kami dengan asal saja, dan ketika aku membandingkan kelas lain yang berbeda guru, aku melihat kemampuan mereka telah diatas kami. Aku selalu sewot bila membicarakan cara guru itu mengajar, aku tahu sebenarnya guru tersebut menguasai bidangnya tetapi dia tidak bisa menyampaikannya pada kami dengan benar.

Aku heran melihat nilai temanku bagus pada pelajaran guru tersebut padahal temanku sama sekali tidak mengerti materi yang diajarkan oleh sang guru itu, aku tertegun melihatnya dan saat itu aku berpendapat bila ingin mendapat nilai bagus kita harus menjadi seorang penjilat terlebih dahulu. Sungguh kenyataan yang sangat memuakkan bagi para generasi muda yang telah dibimbing oleh guru seperti ini.

Beberapa hari lagi akan ada pembagian rapot, aku masih bingung siapa yang akan mengambil rapotku karena menurut peraturan rapot harus diambil oleh orang tua atau wali.

“ Mah, besok siapa yang mau mengambil rapot disekolah?” kataku pada ibuku yang sedang sibuk memasak

“ Besok, mamah yang ngambil! Udah sana jangan ganggu mamah!” kata ibuku dengan rada jengkel

Seperti biasa ibuku acah tak acuh terhadapku, aku telah terbiasa dengan sikapnya itu, ibuku selalu memperhatikan adikku dan sama sekali tidak pernah memperhatikan aku, aku seperti barang pajangan dirumah, segudang prestasi telah aku peroleh tanpa kesan sedikit pun hingga aku malas berprestasi kembali. Ibuku adalah seorang guru di SMP swasta, sedangkan ayahku hanya karyawan biasa yang cukup sukses, mereka tidak pernah ada waktu untukku. Aku berangkat sekolah ayah sedang tidur dan ibuku telah berangkat kerja, saat aku pulang ayahku belum kembali dan ibuku sedang sibuk dengan tugas-tugasnya, saat akhir minggu orang tuaku pergi ke Depok untuk mengunjungi adikku, adikku tinggal di Depok karena dirumahku tidak ada yang mengurus, dan aku menjaga rumah sendirian, itulah keseharianku terus berulang tanpa ada komunikasi basa basi lain hingga saat ini. Selama ini aku selalu merahasiakan tentang pekerjaan sambilanku, aku hanya ingin mengumpulkan uang sedikit demi sedikit demi masa depanku, dan aku merasa sewaktu-waktu aku bisa saja di usir dari rumah ini.



Aku terus menghisap rokokku dalam-dalam sembari menyaksikan keindahan malam, aku terus melamun dalam usaha mengendalikan mobil yang kukendarai, dadaku sesak mengingat kenangan yang telah lama kupendam tanpa seorang pun mengetahuinya, perlahan-lahan mataku mulai berkaca-kaca meskipun aku berusaha tampak tegar…



“ Apa-apaan rapot kamu ini! Mengapa nilainya jelek sekali? Apa yang kamu kerjakan selama ini! Kamu anak yang tidak berguna! Selalu saja membuat masalah!” kata-kata ibuku terus menggelegar memarahiku, aku merasa sangat kesal sekali karena aku merasa nilaiku tidak begitu buruk. Aku sangat marah bila aku mulai dibanding-bandingkan dengan anak lain, kalau ibuku mau lebih baik angkat saja anak lain menjadi anaknya.

Semester berikutnya tidak berbeda dari semester yang lalu hanya saja pada semester ini aku memenangkan sebuah perlombaan bergengsi di JCC ( Jakarta Convention Centre), aku mengikuti perlombaan desain grafis dengan membuat berbagai macam karikatur. Di acara tersebut aku dikenalkan oleh Pak Hamid, beliau adalah direktur sebuah perusahaan percetakan yang cukup terkenal dan beliau sangat tertarik dengan bakatku, beliau menawarkan pekerjaan di perusahaannya tetapi dengan berat hati aku tolak dengan alasan aku masih bersekolah dan tidak akan ada waktu bila bekerja di perusahaan beliau. Pak Hamid memaklumi alasanku dan memberikan sebuah kartu nama dan mengatakan bila aku berubah pikiran dia akan menyediakan tempat di perusahaannya, aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya.

Hari pun terus berganti, keadaan dirumahku tidak begitu harmonis seperti dulu, aku sering bertengkar dengan orang tuaku entah aku yang memulai atau sebaliknya, aku mulai merasa muak bertahan dalam keadaan seperti ini, tetapi biarpun begitu aku tetap menjalani aktivitasku seperti biasa.

Keluargaku dari luar memang tampak harmonis tetapi bila kalian hidup di dalamnya tentu kalian akan merasakan hal yang sama denganku. Sejak beberapa bulan setelah memasuki kelas terakhir aku menjadi sering bertengkar dengan kedua orang tuaku, mungkin karena aku yang stress dengan beban pelajaran yang meningkat atau keadaan emosi orang tuaku yang tidak terkontrol. Kini tiada hari tanpa pertengkaran di rumahku, saat orang tuaku bertengka akulah yang akan menjadi kambing hitam dan bahan pelampiasannya. Aku sangat muak dalam keadaan seperti ini. Aku sering tidak berada dirumah, tiap malam minggu aku selalu menginap dirumah teman, dan saat pulang sekolah aku akan langsung ke kamarku dan menguncinya, kini aku sangat jarang berkomunikasi dengan orang tuaku.

Setelah beberapa bulan berjalan tanpa ada perubahan, aku mulai memberontak, aku ingin hidup bebas, aku mulai mengikuti berbagai kegiatan yang memungkinkan aku tidak berada dirumah selama liburan, dan tentu saja pecinta alam adalah pilihanku. Pecinta Alam adalah suatu organisasi illegal disekolah, dan kami sering melakukan kegiatan seperti kemping, hiking, climbing, dan berbagai kegiatan menantang lainnya, yang membuatku merasa bangga adalah saat aku mengikuti kegiatan kemanusiaan yang bernama ACT ( Aksi Cepat Tanggap ), dalam organisasi ini aku menjadi relawan yang membantu orang lain yang terkena bencana, misalnya waktu itu aku bertugas membantu korban tsunami di Aceh, gempa di Jogja, fogging ( pengasapan nyamuk demam berdarah ), dan lain-lain. Organisasi yang aku ikuti sangat melambangkan kepribadianku dan aku menganggap semua ini sebagai kepribadianku yang lain dan bertujuan untuk melarikan semua masalah yang aku derita, dengan berbagai macam kegiatan kemanusiaan aku merasa sangat damai hingga saat yang naas itu tiba.

Aku pulang sekolah dan bertemu dengan beberapa temanku, seperti biasa aku nongkrong dan mengobrol ngalor ngidul di prapatan Griya. Tak terasa siang telah menjadi malam dan salah seorang temanku mengajak membeli minuman dan aku hanya mengiyakan saja.

Malam itu aku pulang kerumah dalam keadaan mabuk, saat mengetuk pintu tanganku terasa sangat ringan seolah-olah melayang, saat ibuku membukakan pintu aku langsung muntah didepan ibuku, tetesan muntahan mengenai pakaian ibuku, ibuku hanya terpaku sebelum kemarahannya menggelegar. Aku dimarahi habis-habisan dan ayahku juga ikut-ikutan memarahiku. Paginya badanku sangat pegal sekali dan terbangun oleh tendangan dari ayahku.

“ Tadi ada telepon dari sekolah, mereka bilang kamu tidak masuk sekolah selama seminggu! Kemana saja kamu!” ayahku membentakku dan langsung memukuliku dan ibu hanya diam saja tidak melerai usaha ayahku.

Aku terus dipukuli dan memberontak…

“ Ampun, sakit pak!” aku berteriak berusaha menutupi wajahku tetapi ayahku seakan telah dirasuki setan.

“ Biar kapok kamu!” teriak ayahku

Aku berlari keluar kamar menabrak ibuku dan terus berlari tidak peduli teriakan ibuku memanggil-manggil namaku, hingga saat ini itulah hari terakhirku melihat kedua orang tuaku, aku pergi kabur dari rumah tanpa membawa apapun hanya dompet dan beberapa lembar uang yang selalu aku simpan di kantungku……



Aku membasuh mataku tanpa sadar, tak terasa kejadian itu telah berlalu selama tujuh tahun. Saat aku berusia delapan belas tahun, saat duduk di kelas tiga SMA. Dadaku sesak sekali, aku merasakan perasaan bersalah yang terus menggelayut di lubuk hatiku. Aku merasa sangat rindu pada keluargaku, aku tak tahan terus memendam perasaan ini, aku ingin menangis mengingat ini kembali…



Saat aku kabur dari rumah, aku pergi tanpa membawa apa pun kecuali selembar uang sepuluh ribu dan dompet yang kutahu hanya berisi kurang lebih satu juta rupiah di kartu ATM-ku. Aku bingung hendak ke mana, hatiku terasa pedih dan sesak, kuputuskan membeli rokok dan mulai menghisapnya, aku memeriksa dompetku dan menemukan kartu nama Pak Hamid terselip diantara KTP ku, tanpa berpikir aku langsung menghubungi Pak Hamid dan meminta pekerjaan yang telah dia janjikan padaku dulu. Pak Hamid berjanji akan memberiku pekerjaan apalagi ketika aku menjelaskan padanya tentang keadaanku, beliau merasa prihatin dan menyuruhku datang kekantornya untuk mengurus kontrak kerjaku. Aku bekerja padanya sejak itu, beliau memberiku gaji seperti karyawan yang lain tanpa membeda-bedakan, aku diberi rumah kontrakan olehnya, aku mengucapkan banyak terima kasih pada beliau dan mulai bekerja siang dan malam. Aku terus berusaha melupakan masa laluku membuang semuanya demi masa depanku, aku tidak ingin banyak orang yang tahu. Aku yakin keluargaku tak akan menemukanku, tidak ada satu pun yang akan tahu keberadaanku kecuali… Pak Hamid.

Aku melewati hari-hariku yang baru. Aku bekerja membuat banyak desain yang menyita banyak waktu, aku dikejar oleh deadline yang menyelamatkanku dari kesepian, aku bekerja demi melupakan masa lalu, demi hidup yang baru.

Aku terus berkubang dalam kesepian hanya ditemani suara desing computer yang terus menyala, meskipun aku telah memiliki segalanya, aku tetap tak dapat melupakan dosa pada kedua orang tua yang telah melahirkanku, aku merasa berdosa sekali, bagaimana keadaan mama, apa mama sehat? Aku mengaku salah, aku anak yang sangat durhaka…

Kini aku sadar, aku hanya melarikan diri dari kenyataan dan selama ini aku telah munafik. Hari ini juga aku harus pulang ke tempat orang tuaku, aku merindukan mereka, sangat-sangat merindukan mereka… tunggu aku mama, aku akan bersujud di telapak kakimu untuk memohon maaf padamu…



Aku memacu kendaraanku dalam kecepatan tinggi, mataku sembab, air mata terus berjatuhan dari kedua pipiku, sekilas aku melihat lampu-lampu jalan berkelap-kelip seolah memberi jalan padaku, aku terus melaju dengan kencang, sepintas terbayang wajah kedua orang tuaku berkerut dalam kesedihan, aku kehilangan konsentrasi dan beberapa saat aku tak sadar apa yang terjadi,yang aku tahu hanya sebuah mobil yang tiba-tiba menyalip dari arah berlawanan dan aku tak bisa menghindarinya, aku melihat orang-orang berlarian ke arahku, aku merasa heran tatkala wajah mereka terlihat sangat prihatin dalam tatapannya, detik berikutnya aku sangat mengantuk dan lelah seolah telah berjalan berpuluh-puluh kilometer. Aku tak dapat berpikir jernih, pandanganku mulai kabur dari kejauhan aku merasa ada yang memanggilku, aku berusaha mendengar sayup suara itu, berusaha menjawab panggilan suara misterius itu. Kudapati tubuhku melayang melewati jasadku, aku seakan terhisap oleh cahaya kegelapan yang kelam.



“Penyesalan selalu datang di akhir dan kita sadari sang waktu tak akan memutar balik untuk mengubah segalanya kembali dari awal mula”

Nikmatilah hidup dan perbaiki kesalahanmu sebelum ajal menjemput di suatu saat yang tidak terduga.

“Ucapkanlah permohonan maaf pada orang tua sebelum dirimu mengecap makna durhaka”

( bang cuko )

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

2 komentar:

Anonim mengatakan...

good boi..

bang cuko mengatakan...

tengkyu\'o'/
bikin read more gmana yah,,,

Posting Komentar