Malaikat Maut Di Samping Kita

Kapan kita meninggal? Lima puluh tahun lagi? Sewindu lagi? Bulan depan? Minggu depan? Atau. . .malam ini? Kita memang tidak pernah tahu jawabannya. Walau kematian adalah sesuatu yang biasa, tetapi rasanya tetap menusuk bila itu berkaitan dengan orang-orang terdekat kita. Tadi siang baru saja saya mendengar kabar di sekolah seorang rekan saya meninggal. Panggilannya Zsa Zsa. Ia satu angkatan dengan saya. Jadi usianya kira-kira 17 tahun. Usia yang buat banyak orang, sedang manis-manisnya. Mungkin ia pun tidak pernah menyangka akan dipanggil secepat itu.
Saya terhenyak. Sungguh, Beberapa tahun yang lalu saya mengenalnya dalam sebuah acara penerimaan siswa baru. Saya hanya ingat samar-samar. Ia masih penuh semangat, lugu, polos. Baru lulus dari SMP. Ia juga senang menulis seperti saya. Bedanya, ia pintar menggambar. Kalau tidak salah ia ingin menjadi seorang desain interior atau apalah. Saya lupa persisnya. Dalam malam renungan ketika itu, ia menangis bersama teman-temannya. Menangis mengingat dosa, teman-teman, orang tua...

Kematian memang sering terjadi di sekitar kita. Tapi tidak banyak yang sudi membicarakannya dengan terang-terangan. Mungkin itulah salah satu sebab mengapa kita (atau setidaknya saya) tidak begitu sering mengingat mati. Padahal dalam semua kitab suci banyak membahas tentang kematian dan kehidupan sesudahnya.
Banyak faktor yang membuat banyak orang takut pada kematian. Enggan karena tidak tahu persis apa yang akan dihadapi setelah mati. Mungkin juga khawatir akan keluarga yang ditinggalkan. Atau sekadar belum rela saja meninggalkan hidup yang sedang enak-enaknya.

Tapi kita pasti mati! Hidup didunia pasti berakhir... akan tiba di mana saat malaikat maut menjemput kita. Bisa perlahan, tak jarang pula super mendadak dan tidak terduga. Meminta nyawa yang kita kira tak akan lepas. Lalu tanah ditaburkan segenggam-segenggam ke atas tubuh kita. Berat. Gelap. Tidak ada yang mendengarkan teriakan kita karena memang suara yang keluar tidak lagi dapat ditangkap oleh telinga manusia.
Baru pada saat itulah kita merasakan penyesalan yang sesungguhnya... kalau sekarang, jarang rasanya kita merasa rugi ketika waktu kita tersita oleh kegiatan yang tidak berguna barang sejam atau dua jam. Tapi ketika nyawa mulai meregang, barulah kita merasa. Berharap seandainya semua sakit itu bisa ditunda barang sekian milidetik saja... agar kita bisa bersujud amat sungguh-sungguh. Untuk pertama kali (dan mungkin terakhir) dalam hidup kita. Memohon ampun kepada tuhan untuk yang terakhir kalinya... mengatakan semua cinta yang tidak sempat kita katakan, pada orang tua, kakak atau bahkan pada adik yang sering kita goda... seandainya, seandainya, seandainya... Saudaraku... beruntung bila ada orang yang menangisi kepergian kita. Merasa kita telah mengisi hidup mereka dengan cara yang istimewa. Lalu orang-orang itu akan merasa kehilangan. Syukur-syukur mendo’akan dengan tulus.

Tapi... percayalah, pada suatu saat mereka akn berhenti bersedih. Berhenti berduka. Memori akan diri kita mulai tergerus dari ingatan mereka. Langit juga tetap biru. Matahari tetap sama hangatnya tak peduli yang meninggal putri raja sekalipun. Dan tinggallah kita sendiri. Sempit, gelap, berat. Hanya ditemani amal-amal kita. Mungkin selama ini kita merasa punya cadangan amal. Tapi benarkah itu? Jangan-jangan yang ada hanya busuk karena amalan yang digerogoti ketidakikhlasan, kemunafikan, kesombongan...

Bila kita menonton TV 4 jam sehari, misalnya. Berarti itu sama dengan sekitar 120 jam sebulan, atau 1440 jam setahun. Totalnya bisa mencapi 10 tahun bila kita diberi usia 60 tahun. Pemborosan yang kuar biasa. Mungkin sebagian kita tidak menonton TV selama itu. Tapi jagan lupa, dengan obrolan kita yang ngalor-ngidul, waktu yang habis untuk melamun, jalan-jalan tanpa arah... jangan lupa juga bahwa tidur, makan, minum, dll itupun menghabiskan waktu.

Pun terlalu banyak waktu yang habis untuk mendendam. Meributkan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak perlu. Bergulat dengan emosi negatif dan lamunan kosong yang membuat kita tidak produktif, tersinggung, sakit hati. Padahal kalu dperhatikan, produktifitas seseorang bisa berkurang drastis ketika ia dikuasai emosi negatif.
Lantas kapan kita ingat pada tuhan? Kalu mau jujur, bahkan seringkali ketika sujudpun kita tidak sungguh-sungguh.

Adik kelas saya Zsa Zsa sudah pergi. Ia tidak lagi bersegera menyambut adzan. Juga tidak bisa lagi menguntai do’a di penghujung malam. Tidah bisa lagi bersua dengan orang-orang yang mengasihinya. Tapi kita masih disini. Masih punya waktu, yang entah sampai kapan, untuk bertaubat. Benar-benar bertaubat. Memang seringkali terasa berat. Tapi ayo kita coba... kita harus gigih berjuang... harus...!! mudah-mudahan keteguhan kita untuk senantiasa kembali kejalan-Nya juga dicatat sebagai amalan tersendiri.

Related Posts by Categories



Widget by Scrapur

0 komentar:

Posting Komentar